
Pertempuran Midway, 4-7 Juni 1942.
Satu bulan setelah Pertempuran Laut Coral, Admiral Isoroku Yamamoto, komandan Armada Gabungan Jepang, memutuskan bahwa armada kapal induk Amerika harus dihancurkan. Angkatan Laut Amerika secara jumlah lebih sedikit jadi Yamamoto perlu memancing mereka ke dalam jebakan.
Jepang telah merencanakan untuk merebut Midway Island untuk digunakan sebagai basis serangan masa depan terhadap Amerika di Hawaii dan Pasifik. Yamamoto memutuskan untuk terus maju dengan invasi tersebut, dan menghancurkan bala bantuan Amerika dengan kekuatan besar.
Yang Yamamoto tidak tahu adalah intelijen Amerika telah memecahkan kode bahasa Jepang, dan sepenuhnya menyadari rencana Jepang tersebut. Mereka mengirim pasukan mereka dari tiga kapal induk dan menyiapkan komponen udara Midway untuk pertempuran.
Pertarungan berikutnya merupakan kekalahan besar bagi orang Jepang. Empat kapal induk terberat Jepang, Akagi, Kaga, Soryu, dan Hiryu tenggelam. Orang Jepang juga kehilangan satu kapal penjelajah, 292 pesawat, dan lebih dari 2.500 pelaut dan awak pesawat.
Sementara Amerika kehilangan kapal induk USS Yorktown – yang diperbaiki setelah rusak di Laut Koral – sebuah kapal perusak, dan 145 pesawat. 307 pelaut AS dan awak pesawat terbunuh. Jepang kehilangan banyak kapal induk yang akhirnya membantu mengamankan kemenangan Amerika.
Pertempuran terbukti menjadi titik balik. Jepang telah kehilangan kapal induk terbesar dan penerbang angkatan laut terbaiknya ditambah Sekutu melakukan serangan di Pasifik, dengan Pertempuran Guadalcanal dimulai dua bulan kemudian.

Pertempuran Laut Filipina, 19-20 Juni 1944.
Terlepas dari kekalahan mereka di Midway, Angkatan Laut Jepang secara keseluruhan masih merupakan ancaman besar.
Tapi Sekutu telah membuat kemajuan dengan meluncurkan serangan di jantung sistem pertahanan Jepang. Setelah sukses dengan kampanye Gilbert dan Marshall Islands, mereka menuju Marianas, sebuah kelompok pulau penting yang dikuasai Jepang.
Orang Jepang menetapkan bahwa satu-satunya cara untuk memenangkan perang pada saat ini adalah melalui kontrol penuh atas laut. Mineichi Koga, pengganti Yamamoto setelah dia terbunuh pada tahun 1943, ingin mengalahkan Amerika dalam satu pertempuran yang menentukan.
Untuk itu, Jepang mengirim pasukan besar untuk menghancurkan Angkatan Laut Amerika saat mereka mendekati Saipan. Yang terjadi selanjutnya adalah pertempuran kapal induk vs kapal induk terbesar dalam sejarah, dan yang terakhir antara angkatan laut Amerika dan Jepang.
Kerugian Jepang tinggi – tiga dari sembilan kapal induk tenggelam, serta dua kapal tanker minyak, 395 pesawat berbasis kapal induk, dan lebih dari 2.000 pelaut dan awak pesawat. Penerbang Amerika menggambarkannya sebagai “menembak kalkun.”
Sementara Amerika hanya kehilangan satu kapal perang rusak, 130 pesawat hancur, dan sekitar 100 orang tewas.
Setelah pertempuran, Jepang kehilangan sebagian besar kekuatan kapal induknya, sesuatu yang tidak pernah bisa pulih sepenuhnya.

Pertempuran Teluk Leyte, 23-26 Oktober 1944.
Pertempuran Teluk Leyte dianggap sebagai pertempuran angkatan laut terbesar dalam Perang Dunia ke-2. Bahkan beberapa sejarawan menyebut merupakan pertempuran angkatan laut terbesar dalam sejarah. Gabungan kekuatan kedua pihak terdiri dari 300 kapal serta lebih dari 400 pesawat.
Pertempuran Teluk Leyte mengacu pada sejumlah pertemuan yang terjadi antara Imperial Jepang dan Sekutu di perairan sekitar pulau-pulau Filipina di Leyte, Samar, dan Luzon. Ini adalah usaha Angkatan Laut Jepang untuk mundur melawan invasi Amerika ke Filipina.
Angkatan Laut Jepang percaya bahwa hilangnya Filipina pada dasarnya berarti hilangnya Laut China Selatan, dan mengirim sebuah angkatan laut besar yang terbagi dalam tiga kelompok untuk memancing Sekutu keluar ke laut dan menghancurkannya.
Tiga hari berikutnya Angkatan Laut Jepang menemui bencana yang melumpuhkan mereka untuk selamanya. Sebanyak 26 kapal Jepang hilang, termasuk empat kapal induk dan tiga kapal perang. Sekitar 300 pesawat hancur dan lebih dari 10.000 pelaut Jepang dan awak pesawat tewas.
Sementara di pihak Amerika kehilangan enam kapal – tiga kapal induk, tiga kapal perusak. 200 pesawat hilang, dan sekitar 3.000 pelaut dan awak pesawat terbunuh.
Kapal permukaan Angkatan Laut Jepang berhenti berfungsi sebagai kekuatan efektif setelah pertempuran. Laksamana Mitsumasa Yonai, Menteri Angkatan Laut mengatakan tentang Leyte setelah perang, “Saya merasa bahwa itulah akhirnya.”