
Operasi udara merupakan aspek penting dari kampanye militer yang telah menelan biaya US$12,5 juta atau sekitar Rp167,5 miliar (dengan kurs Rp13.400) per hari di Irak dan Suriah dan menghancurkan kendaraan militer yang tak terhitung jumlahnya, pusat komando dan posisi pertempuran.
Sejak serangan dimulai pada musim panas 2014, pesawat AS dan sekutu telah melakukan lebih dari 16.000 serangan di kedua negara. Para pejabat militer AS memperkirakan bahwa 50.000 anggota ISIS telah tewaas.
Tetapi operasi udara besar-besaran belum mampu memadamkan kekuatan ISIS di dalam dan sekitar Mosul dan kubu-kubu militan lainnya. Saat pasukan Irak mencoba menekan lebih dalam ke kota, pejuang telah menimbulkan korban berat pada pasukan Irak, memperlambat kemajuan pertempuran dan merusak moral pasukan.
Dalam beberapa bulan terakhir, para pejabat AS dan sekutu telah berusaha untuk mempercepat operasi udara dalam kampanye melawan ISIS, dalam upaya untuk membuat kemajuan yang lebih besar terhadap kelompok itu, tapi pergerakan tetap lambat.
Dave Deptula, seorang pensiunan pejabat senior Angkatan Udara yang kini menjadi Dekan Mitchell Institute untuk Studi Aerospace mengatakan Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya telah terbang rata-rata 20 sorti serangan per hari di Irak dan Suriah sejak 2014.
Jumlah ini jauh lebih sedikit daripada periode awal Perang Irak 2003, dengan hampir 800 sorti serangan per hari; atau operasi udara Kosovo 1999-2000, dengan hampir 300 sorti per hari. Apalagi dibandingkan dengan Operasi Desert Storm 1991 dengan lebih dari 1.200 sorti per hari.
Deptula mengatakan sifat dari misi melawan ISIS, terutama pertempuran untuk Mosul, membutuhkan berbagai jenis operasi udara. “Desert Storm adalah operasi di seluruh negara,” kata Deptula. “Mosul adalah bagian yang sangat kecil dari itu. Setiap konflik memiliki situasi yang berbeda. ”