SKENARIO USAF, US NAVY, MARINIR DAN NEGARA LAIN
Untuk Angkatan Udara AS, alternatif yang paling jelas adalah membangkitkan Lockheed Martin F-22 Raptor. Meski membangun kembali jalur produksi pesawat ini akan mahal dan sulit, tetapi hanya itu pilihan yang paling masuk akal.
Angkatan Udara AS masih menyimpan perkakas untuk pesawat meski proses penyimpanan memiliki masalah, itu bukan tantangan yang tidak dapat diatasi. Masalah yang lebih sulit akan terjadi pada subkomponen. Sebagian besar perangkat keras komputer Raptor cukup kuno.
Namun dengan memulihkan jumlah Raptor seperti rencana awal yakni 400 pesawat maka akan memberikan Angkatan Udara Amerika dengan kemampuan yang akan sangat sulit untuk ditandingi siapapun. Sangat jauh jika Amerika memilih untuk mengupgrade F-15 atau F-16. Setinggi apapun upgrade pada kedua pesawat generasi keempat ini, tetap tidak akan mampu mengimbangi F-22.
Lalu bagaimana dengan Angkatan Laut yang mengoperasionalkan F-35C dan Korps Marinir yang diberi F-35B? Kedua pesawat ini direncanakan untuk menggantikan Boeing F/A-18E/F Super Hornet.
Angkatan laut punya pilihan untuk me-restart program pembangunan pesawat tempur siluman jarak jauh tak berawak. Sebuah pesawat serang jarak jauh tak berawak menjadi kebutuhan mereka untuk mengalahkan ancaman anti access/areal denial yang terus berkembang saat ini.
Sementara Korps Marinir tidak ada pilihan lebih baik kecuali kembali membeli Super Hornet atau meninggalkan sayap tempur taktis tanpa F-35B. Namun, Angkatan Laut dan Korps Marinir memiliki hubungan erat sehingga mungkin akan memilih Super Hornet sebelum kekuatan mereka benar-benar tidak berdaya.
Sementara untuk negara lain yang telah terlanjur membeli F-35 maka membeli Eurofighter, Dassault, Boeing F/A-18E/F, Saab Gripen atau bahkan upgrade F-16 menjadi alternatif yang ada. Beberapa sekutu akhirnya mungkin akan mengembangkan pesawat siluman sendiri dengan risiko juga akan mahal.
“Intinya ketika rencana harus berubah maka itu bukan akhir dari dunia. Militer harus beradaptasi dengan kondisi politik saat itu,” tulis Dave Majumdar editor pertahanan The National Interest Rabu 23 Maret 2016.