Mati Tertawa Ala Wartawan

Suatu malam, ketika saya hendak beranjak untuk tidur tiba-tiba saya tertawa terkekeh-kekeh. Saat mata sudah sedemikian ngantuk saya malah teringat percakapan saya dengan seorang teman pada siang hari sebelumnya. Teman saya yang seorang wartawan bercerita bahwa dia diminta kantor semalam suntuk berjaga di pantai Selatan. Tanggal 7 Juni 2007 memang sempat beredar isu santer bahwa pada hari itu akan terjadi gempa besar di Samodra Indonesia yang akan diikuti tsunami besar. Isu yang beredar dari SMS dengan menyebutkan bahwa informasi tentang gempa itu berasal dari CNN sempat membuat ribuan warga di sepanjang pantai menjadi ketakutan. Bahkan mereka memilih untuk mengungsi untuk menghindari bencana.

Teman saya yang kebetulan seorang kontributor sebuah televisi swasta nasional itu mengatakan kantor menugasi dia berjaga di pantai.

“Terus kenapa harus menunggu di tepi panta semalam suntuk?” tanya seorang wartawan.

“Ya, agar kalau terjadi tsunami beneran bisa dapat gambar yang dahsyat,” kata teman wartawan yang diberi tugas itu.

“Lha, kalau ada tsunami benar apa kamu yang tidak jadi korban pertama. Sama saja gambarmu tidak akan bisa digunakan to. Kantor kamu itu gak mikir sama sekali?” Semua teman wartawan yang ada saat itu tertawa terkekeh-kekeh.

Kejadian singkat itulah yang membuat saya terkekeh-kekeh sendiri saat mau tidur. Bahkan dalam situasi yang sudah sedemikian mengantuk saya masih sempat berguman, “Kok kasian amat nasib wartawan. Apa dikira kalau datang tsunami kartu pers akan laku. Ombak datang kasih tunjuk kartu pers terus ombak akan kasih toleransi.Ada-ada saja,”

Tentu tidak semua media sedemikian bodoh seperti yang terjadi dalam cerita itu. Mungkin saja teman saya yang juga bodoh salah mengartikan perintah. Tetapi ada juga teman yang mengatakan semua bodoh. Isu kok dipercaya. Padahal jelas tidak ada teknologi yang bisa meramalkan kapan akan terjadi gempa. Media massa ternyata masih bisa termakan isu. Seharusnya mereka memberi ketenangan agar warga tidak ketakutan kok malah semakin menambah takut.

Kalau sudah berhadapan dengan perintah atasan, wartawan memang tidak bisa berbuat apa-apa. Pokoknya harus dapat berita yang dimaksud. Hal ini yang sering membuat stres wartawan di lapangan seperti misalnya nara sumber tidak bisa ditemui, tidak mau bicara atau ada larangan masuk ke lokasi liputan.

Seperti yang terjadi ketika wartawan meliput presiden SBY saat berziarah di makam mertuanya di Purworejo. Sudah jauh-jauh wartawan datang dari Yogyakarta, mereka dilarang mendekat. Alasan petugas itu klasik mereka hanya menjalankan tugas saja. Hal ini tentu saja membuat wartawan kebingungan. Bagaimana harus mempertanggungjawabkan ke kantor.

Seorang wartawan televisi akhirnya punya ide cemerlang. Dia temui lagi petugas yang melarang masuk tadi

“Gini Pak, kita kan sama-sama menjalankan perintah. Saya juga harus mempertanggungjawabkan kepada kantor kalau saya tidak dapat berita ini. Nah buat pertanggungjawabkan bapak silahkan ngomong kalau wartawan dilarang masuk, saya rekam pakai kamera dan nanti saya kirim ke kantor. Biar atasan tahu kalau benar-benar dilarang. Ini bukan buat berita kok pak. Cuma untuk pertanggungjawaban saja,” kata teman tadi.

Rupanya cara ini juga diikuti teman-teman wartawan lain. Bahkan wartawan dari media cetak meminta petugas tadi untuk menandatangani surat yang dibuat wartawan yang berisi larangan peliputan. Petugas tadi menjadi ketakutan dan memilih untuk menghindar. Akhirnya wartawan pun bisa lenggang kangkung masuk ke wilayah terlarang tadi. Padahal tujuan utama wartawan  benar-benar hanya untuk meminta bukti yang bisa diberikan kepada kantor mereka bahwa mereka tidak bisa mendapatkan berita karena memang tidak boleh meliput acara tersebut.

Kejadian yang bikin sejumlah wartawan tersenyum dongkol terjadi ketika aktivitas Merapi meningkat pada tahun 2006 lalu. Pagi-pagi setelah sholat Subuh saya dengan teman dari Pikiran Rakyat dan Sinar Harapan berangkat ke Pos Babadan, Magelang untuk memantau Merapi. Berangkat pagi merupakan syarat utama untuk bisa melihat puncak Merapi secara sempurna.

Sesampai di Babadan, ternyata sudah ada puluhan orang berada di situ. Kami sempat berfikir mereka masyarakat yang menginap untuk juga melihat keindahan Merapi pada pagi hari. Sesaat kemudian kami bincang-bincang dengan salah seorang pengunjung tadi. Dengan nada mantab orang itu mengatakan bahwa aktivitas Merapi sudah berhenti dan tidak mungkin meletus. Kami agak kaget dengan informasi tersebut, kemudian kami bertanya orang itu darimana dan dia menjawab dari Bandung.

“Lho berarti ini orang dari Pusat Vulkanologi yang pusatnya di Bandung,” pikir saya waktu itu. Apalagi gaya dan penampilan orang ini memang cukup rapi dan meyakinkan.

Rupayan teman-teman yang lain berfikir sama dan akhirnya obrolan itu berubah menjadi wawancara. Saya dan teman-teman sudah mengeluarkan buku catatan masing-masing. Tetapi kok lama-lama ngomongan tokoh ini semakin tidak karu-karuan. Dia bilang titik api Merapi sudah dipadamkan sehingga tidak berbahaya lagi.

“Caranya gimana? Apa ada teknologi buat itu?”

“Ya kita menggunakan kekuatan batin kita. Semalam kita sudah mengeluarkan tenaga kita untuk berkomunikasi dengan kekuatan gaib merapi guna memadamkan api di kawah Merapi”

Wartawan saling berpandangan saja untuk sesaat kemudian tersenyum kecut. Dan satu persatu meninggalkan orang ini.

“Oalahhhhhhhhh paranormal rupanya,” gerutu kami sambil cengengesen.

Cerita konyol wartawan kerap kali muncul begitu saja, terutama ketika wartawan tengah menunggu berita. Kebosanan dalam menunggu sering kali diisi dengan cerita-cerita konyol. Seperti misalnya ketika puluhan wartawan menunggu pemeriksaan kru pesawat Garuda GA-200 yang terbakar di Bandara Adisucipto. Wartawan benar-benar jenuh karena sudah menunggu lebih dari enam jam tetapi belum ada tanda-tanda pemeriksaan akan segera rampung.

Tiba-tiba salah seorang kontributor televisi swasta mengeluarkan mix, mungkin maksudnya untuk persiapan jika sewaktu-waktu pemeriksaan selesai. Tetapi mix yang dikeluarkan benar-benar mengundang perhatian. Warna mix itu benar-benar sudah usang. Bahkan warna asli mix itu sudah tidak jelas apa. Beberapa wartawan memperhatikan mix sahabat satu ini dengan cekikikan. Dan rupanya kontributor ini tahu kalau diperhatikan. Bukanya malu dia malah tertawa terbahak-bahak. Tentu saja teman-teman lain malah heran melihat si punya mix tertawa terbahak-bahak tanpa alasan yang jelas.

“Sini tak ceritakan sejarah mix ini,” kata teman tadi memulai cerita.

“Mix ini punya teman satu timku. Dulu aku juga kaget kok jelek banget mixnya. Nah, temenku bilang jangan meremehkan. Mix ini aku dicuri dari mushola kampungnya. Katanya dulu sering dipakai adzan sama alamarhum bapaknya. Jadi ini mix wasiat yang akan bawa rejeki.Apalagi sering dipakai adzan. Beritanya nanti gampang tayang kalau pakai mix wasiat ini,”

Kami yang menunggu di lorong-lorong kantor Polda DIY ketawa ngakak.

“Maling kok bangga. Barang malingan gimana mau kasih berkah.Aneh-aneh aja dab,”

Masih ada kaitanya dengan menunggu, ketika itu sejumah wartawan menunggu sebuah persidangan. Kasus apa, saya sendiri lupa. Berjam-jam menunggu membuat wartawan jenuh dan membuat berbagai kegiatan untuk mengisi waktu. Salah satu teman dari wartawan kriminal, bermain-main dengan kamera digitalnya. Apa saja dipotret untuk sekedar mengisi waktu yang membosankan.

Tiba-tiba sidang selesai, dan terdakwa dinyatakan bebas tanpa syarat. Saking bahagyanya, terdakwa yang diputus bebas itu langsung berlari ke halaman gedung pengadilan dan melakukan sujud syukur. Tentu ini sebuah momen yang sangat menarik untuk dipotret. Teman dari koran kriminal tadi juga bersiap memotret momen tersebut. Tetapi apa daya, saat memencet tombol yang keluar tulisan Your Card is Full. Kelabakan teman satu ini menghapus file foto agar bisa segera mengambil gambar. Tetapi lagi-lagi apes, saat siap untuk memotret kembali, momen sujud syukur itu selesai. Teman satu ini hanya bisa cengar-cengir saja. “Kapok aku tidak akan main-main kamera lagi,” katanya dengan nada memelas.

Ngirit pulsa di kalangan wartawan juga kerap kali memunculkan ‘kecelakaan’. Ada wartawan dari sebuah media nasional yang biasa dipanggil Qirun, karena wajahnya yang mirip pelawak asal Jawa Timur tersebut. Dia belum lama ditugaskan di Yogyakarta dan karena medianya fokus pada masalah ekonomi, dia pun bertanya-tanya wartawan ekonomi di Yogyakarta yang bisa diajak saling tukar informasi. Akhirnya, beberapa nama dikasihkan, salah satunya bernama Ibra, salah satu reporter radio swasta di Yogyakarta. Melihat namanya, qirun yakin bahwa Ibra adalah seorang perempuan ditambah dengan upaya pengiritan pulsa maka dia tidak pernah telepon dan hanya berkenalan lewat SMS saja. Bahkan sesekali si Qirun ini mengirimkan SMS dengan nada-nada mesra dan menggoda.

Hingga suatu saat, ada suatu acara yang harus diliput dan karena Qirun orang baru maka dia belum tahu lokasi liputan. Lewat SMS mereka berjanji bertemu di suatu tempat untuk kemudian berangkat bersama-sama. Sesampai di tempat janjian, Qirun celingukan mencari-cari si Ibra. Setiap gadis yang ada di tempat itu dia amati apakah ciri-ciri baju yang digunakan sesuai yang di SMSkan Ibra. Tidak ketemu, akhirnya Qirun dengan terpaksa menelpon. Dan betapa terkejutnya, ada suara telepon bunyi di dekatnya milik seorang laki-laki. Qirun saling pandang dengan pemilik HP yang berbunyi tersebut.

“O, ini Mas Qirun to,” kata Ibra yang memang baru kali itu dia bertemu dengan Qirun.

Qirun pun terpaksa merah padam karena malu.

“Aku pikir cewek je,Mas” katanya sambil cengengesan.

Kesalahpahaman tentang jenis kelami juga dialami wartawan yang bernama Wiwik Susilo, seorang wartawan televisi swasta nasional. Suatu saat dia menelepon temanya yang bernama Santosa, wartawan sebuah radio swasta.

“Sebentar aku sampai disitu tunggu saja,” kata Santosa

“Lha kamu sama siapa” tanya Wiwik.

“Deby..” kata santosa singkat

“Wah dapat selingkuhan po?” goda Wiwik

setelah telepon ditutup Wiwik masih penasaran dengan wartawan bernama Deby yang disebutkan Santosa.

“Namanya Deby mesti ceweknya juga hot ki,” pikir Wiwik.

Saat santosa sampai dengan beberapa teman wartawan lain, Wiwik masih celingukan mencari orang yang bernama Deby.

“Kok laki-laki semua. Mana yang namanya Deby,” tanya Wiwik kepada Santosa.

“Lho belum tahu Deby to?. Ya ini Deby,” kata Santosa sambil menepuk pundak seorang wartawan yang sudah tua dan bertubuh gendut.

Ternyata Deby adalah si Bambang Sudibyo yang biasa disingkat Deby.

“Oalahhhhhhhhhhhhh aku pikir Deby itu cewek cantik, seksi, langsing. Ternyata genthong,” kata Wiwik.

*) Maaf mas Deby. Saya tidak edit tulisannya. Semoga damai di sisi-Nya

8 Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Comments are closed