Technonationalism sendiri, bagaimanapun, tidak dapat membangun industri pertahanan yang berkelanjutan dan ekonomis. Faktanya pasar pertahanan Korea sendiri terlalu kecil untuk mendukung program jet tempur nasional.
Agar menguntungkan, perusahaan harus menjual ratusan pesawat tempur. Bahkan dengan Indonesia yang masuk dan membeli 80 pesawat Korea dan KAI harus mencari pelanggan lain untuk bisa menjual pesawat lebih banyak hingga tidak rugi.
Bahkan, Korea mengharapkan untuk mengekspor hingga 600 KF-X ke negara lain. Meski angka ini mungkin terlalu optimis, dan mungkin sangat berbahaya.
Ambil kasus T-50 Golden Eagle, program pesawat Korea Selatan. Diluncurkan pada pertengahan 1990-an, T-50 adalah program ambisius untuk merancang dan memproduksi jet pelatih / jet serang supersonik dan dilengkapi dengan paket avionik yang canggih.
Selain menjadi jet pelatih, pesawat ini diadaptasi dalam versi lain, termasuk pesawat tempur ringan TA-50. Pesawat ini dimaksudkan untuk menggantikan T-38, A-37, dan F-5 milik Angkatan Udara Korea Selatan.
Awalnya KAI juga sangat optimistis dengan mentargetkan bisa mengekspor 1.000 T-50 dan merebut seperempat dari pasar dunia. Tetapi fakta menunjukkan dalam dekade terakhir, Korea baru menjual 64 T-50 dan hanya ke empat negara: Indonesia, Irak, Filipina, dan Thailand.
Korea Selatan menemukan kenyataan bahwa masuk ke bisnis jet tempur internasional memang sangat sulit dilakukan. Salah satu hambatan terberat adalah pasar sudah jenuh dengan sejumlah produk yang sangat mampu, seperti F-35 dan Su-30 serta Su-35. Selain itu, perusahaan kedirgantaraan Amerika, Rusia, dan Eropa telah menghabiskan puluhan tahun untuk mengembangkan basis pelanggan mereka, dan sulit untuk merebutnya.
Kekuatan Korea Selatan adalah selalu optimis, kemampuannya untuk percaya bahwa jika tekun dan berusaha keras, ia bisa mengatasi hambatan atau kemunduran. Hal positif ini telah berhasil. Jadi mungkin lebih baik yakin bahwa KF-X pada akhirnya nanti akan menemui keberhasilan.